Langkah Warga Kampung Cirapuhan terkait kasus Dago Elos
Langkah Warga Kampung Cirapuhan terkait kasus Dago Elos , Langkah yang diambil oleh Muhammad Basuki Yaman perwakilan warga / koordinator pertanahan warga kampung cirapuhan Bandung melalui jalur legislatif dan eksekutif adalah sah secara hukum, meskipun jalur yudikatif (peradilan) juga tersedia dan digunakan oleh pihak lain. Penyelesaian sengketa tanah di Indonesia memang bisa ditempuh melalui dua jalur, yaitu litigasi (peradilan) dan non-litigasi (di luar peradilan).
Konsep tiga lembaga tertinggi negara tidak secara eksplisit disebut dalam UUD 1945 pasca-amandemen, namun prinsip Trias Politica diimplementasikan melalui pembagian kekuasaan di tiga lembaga negara utama: Lembaga Legislatif (MPR, DPR, dan DPD), Lembaga Eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden), serta Lembaga Yudikatif (Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial).
Sehingga Kami Muhammad Basuki Yaman Memilih 2 lembaga Tinggi negara untuk menarik
dan atau menghentikan kasus pada Lembaga Tinggil lainnya ( Lembaga Yudikatif )
Mengingat kami meyakini tak ada Keputusan Yang Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
yang akan di hasilkan nya terhadap kasus Didi Koswara Cs melawan Heri Hermawan cs
( di viral kan oleh suatu pihak dengan Dago Elos never Loose melawan Muller bersaudara )
Mengapa langkah tersebut dapat dibenarkan
- Jalur non-litigasi diakui secara hukum: Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN), penyelesaian sengketa tanah bisa dilakukan melalui mekanisme pengaduan ke BPN. Ini adalah salah satu bentuk penyelesaian non-litigasi yang diakui dan diatur oleh peraturan perundang-undangan.
- Peran pengawasan lembaga lain:
- DPR sebagai pengawas eksekutif: Lembaga legislatif seperti DPR memiliki fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintah, termasuk Kementerian ATR/BPN. Pengaduan ke DPR adalah cara untuk meminta DPR mengawasi dan mendesak pemerintah agar bertindak dalam penanganan kasus yang dinilai bermasalah, seperti dugaan "mafia tanah" yang disuarakan Basuki Yaman.
- Kementerian ATR/BPN sebagai penegak aturan: Lembaga eksekutif seperti Kementerian ATR/BPN memiliki kewenangan untuk menangani dan menyelesaikan kasus-kasus pertanahan, terutama yang berkaitan dengan aspek administratif. Pengaduan kepada kementerian adalah langkah yang tepat untuk meminta peninjauan kembali atau penyelesaian masalah administrasi pertanahan.
- Fokus pengaduan yang berbeda: Basuki Yaman lebih fokus pada dugaan "modus mafia tanah" dan meminta tindak lanjut dari pemerintah, yang merupakan domain eksekutif. Sementara itu, pihak lain seperti keluarga Muller menggunakan jalur peradilan (yudikatif) untuk menggugat warga terkait sengketa perdata kepemilikan. Kedua jalur ini tidak saling menghilangkan, melainkan bisa berjalan beriringan untuk menyelesaikan masalah dari sisi yang berbeda.
- Hal ini juga untuk membatalkan putusan pengadilan: Penting untuk dicatat bahwa jalur pengaduan ke lembaga legislatif atau eksekutif memiliki kewenangan untuk membatalkan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Dan, pengaduan tersebut dapat menjadi dasar bagi kementerian untuk melakukan tindakan administratif, seperti pembatalan sertifikat jika ditemukan cacat hukum administratif dalam proses penerbitannya.
Kesimpulan:
Langkah yang diambil Muhammad Basuki Yaman dengan menggunakan jalur non-litigasi ke lembaga eksekutif (Kementerian ATR/BPN) dan legislatif (DPR) adalah sah dan diakui dalam sistem hukum Indonesia untuk menyelesaikan sengketa pertanahan. Ini adalah salah satu pilihan penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Pilihan jalur ini tidaklah "salah" atau "tidak benar", karena memiliki fokus yang berbeda dari jalur peradilan yang ditempuh oleh pihak lain. Jalur non-litigasi bisa digunakan untuk mengawasi kinerja pemerintah, menyoroti pelanggaran administrasi, dan memperjuangkan hak melalui mekanisme pengaduan.
Comments
Post a Comment