masyarakat adat versi Dago Elos dan masyarakat adat versi Kampung Cirapuhan
masyarakat adat versi Dago Elos dan masyarakat adat versi Kampung Cirapuhan
Modus Saling Gugat & Pemalsuan Sejarah Kepemilikan Tanah Didi Koswara menurut Versi Dago Elos dan Didi Koswara menurut Versi Kampung Cirapuhan
Dalam sidang menurut versi Dago Elos ( Gugatan Muller ) dan Versi Kampung Cirapuhan ( Gugatan adalah bagian Modus Mafia Tanah Saling Gugat )
Misalnya :
1. Latar Belakang Lokasi:
- Dahulu merupakan pabrik NV Cement Tegel, tambang pasir, kebun kecil.
- Kini berubah jadi Terminal Dago, kantor pos, dan permukiman warga RT 01 & 02 RW 02 Dago Elos.
2. Modus Dalam Sidang:
- Didi Koswara diangkat sebagai seolah-olah tokoh masyarakat adat oleh pihak tergugat utama yang berkolusi dengan penggugat.
- Tujuan terselubung: Menetapkan George H. Muller dan atau Didi Koswara sebagai pemilik paling lama dan paling berhak
3. Rekayasa Mafia Tanah:
- Jaringan mafia menempatkan kaki tangan di kedua belah pihak (penggugat & tergugat).
- Semua skenario rekayasa, bukan sengketa murni.
4. Fakta Lapangan:
- Versi warga Kampung Cirapuhan: Didi Koswara bukan masyarakat adat Kampung Cirapuhan , Didi koswara juga bukan masyarakat adat Dago Elos rw 02
Didi Koswara berasal dari Subang, tinggal di lahan milik Tomi & Rokayah (cicit Nawisan, penghuni sejak 1850-an dan atau 18870 an ). Riwayat singkat rokayah binti tama bin Okoh binti Nawisan .
Didi Koswara menikah dengan Enih , Enih Binti Ahya , Ahya adalah pegawai Tomi . Jadi Didi Ksowara menumpang di Mertua nya . mertuanya menumpang di Tomi .
5. Motif Utama:
- Menghapus jejak penghuni asli seperti keluarga Nawisan dan keturunan dan juga kelompoknya .
- Mengalihkan pengakuan historis dari penghuni asli ke pihak-pihak yang diduga tidak memiliki dasar sejarah.
yang menjadi Polemik adalah Didi Koswara di jadikan alat oleh Mafia Tanah sehingga di atasnamakan namanya shm 80 m , 270 meter , PBB 15.000 meter dan atau kesepakatan dengan Yayasan ema alias Ny nini karim tahun 1967 dan atau 1968 . sehingga jadi tergugat I sementara itu ketua rw 02 Dago Elos ismail Tanjung meletakan pondasi mengubah kampung cirapuhan jadi Dago elos , sehingga ada shm 868 meter atas nama Ismail Tanjung . Kemudian Raminten cs H syamsul Mapareppa membuat kesepakatan dengan asep makmun . sementara itu Iwan surjadi komisaris Pt Batunungal membuat kesepakatan dengan asep makmun . Lalu Pt Dago Inti graha menggugat .
Sangat komplek memang modus jaringan mafia tanah ini .
Tujuan dari sengketa tanah Dago versi Dago Elos adalah untuk melegalkan mafia tanah dengan modus saling gugat. Sementara itu, versi Kampung Cirapuhan menyebutkan bahwa tergugat utama telah memanipulasi data untuk mendapatkan Sertifikat Hak Milik (SHM) dengan luas yang berbeda-beda, seperti 80m, 270m, 868m, dan PBB 15.000m.
Menurut versi Kampung Cirapuhan, mereka menggunakan Syarif Hidayat untuk memproses tanah hasil intimidasi dan penghalang-halangan hak di Kampung Cirapuhan dan Dago Elos. Mereka juga mengubah status RT 07 RW 01 Kampung Cirapuhan menjadi Dago Elos RW 02 untuk digugat bersama penggugat yang berkolusi dengan tergugat utama dan simpatisannya.
Perbedaan antara versi Dago Elos dan Kampung Cirapuhan terletak pada:
- Tujuan: Versi Dago Elos bertujuan melegalkan mafia tanah, sedangkan versi Kampung Cirapuhan menyebutkan bahwa warga Kampung Cirapuhan adalah korban intimidasi dan penghalang-halangan hak.
- Manipulasi Data: Versi Kampung Cirapuhan menyebutkan bahwa tergugat utama telah memanipulasi data untuk mendapatkan SHM dengan luas yang berbeda-beda.
- Kolusi: Versi Kampung Cirapuhan menyebutkan bahwa ada kolusi antara penggugat, tergugat utama, dan simpatisannya untuk menggugat warga Kampung Cirapuhan.
Perbedaan ini menunjukkan bahwa kedua versi memiliki perspektif yang berbeda terkait sengketa tanah Dago.
Perbedaan antara versi Dago Elos dan Kampung Cirapuhan terkait sengketa tanah terletak pada beberapa aspek:
- Klaim Tanah: Warga Kampung Cirapuhan mengklaim bahwa leluhur mereka telah menetap dan menguasai tanah sejak ±1850-1870 tanpa gangguan berarti. Sementara itu, keluarga Muller mengklaim bahwa mereka memiliki sertifikat Eigendom Verponding dari zaman kolonial Belanda yang membuktikan kepemilikan tanah tersebut.
- Sejarah dan Bukti: Versi Kampung Cirapuhan menyebutkan bahwa kolonial Belanda membuat surat tanah sepihak (EV 3740, 3741, dll.) tanpa sepengetahuan warga. Sementara itu, warga Kampung Cirapuhan memiliki bukti-bukti lain seperti kesaksian dan dokumentasi yang mendukung klaim mereka.
- Dugaan Mafia Tanah: Warga Kampung Cirapuhan menduga adanya aksi mafia tanah dengan surat BPN palsu (SHM aspal) yang melibatkan oknum warga, tokoh masyarakat, aparatur, dan oligarki sejak 1983.
Kronologi Konflik Tanah Dago
- 1850-1870: Leluhur warga Kampung Cirapuhan mulai menetap dan menguasai tanah secara turun-temurun.
- 1880-1930: Keluarga Nawisan bertumbuh, tanah tetap dikuasai, kolonial mulai membuat surat tanah sepihak (EV 3740, 3741, dll.).
- 1945-1960: Indonesia merdeka, warga masih bertahan, tapi sertifikasi resmi terbatas karena dokumen kolonial tidak berlaku.
- 1983-2025: Dugaan aksi mafia tanah dengan surat BPN palsu (SHM aspal) berbagai ukuran, melibatkan oknum warga, tokoh masyarakat, aparatur, dan oligarki.
Pihak yang Terlibat
- Warga Kampung Cirapuhan: Mengklaim bahwa tanah tersebut milik mereka berdasarkan sejarah dan bukti-bukti yang mereka miliki.
- Keluarga Muller: Mengklaim bahwa mereka memiliki sertifikat Eigendom Verponding dari zaman kolonial Belanda yang membuktikan kepemilikan tanah tersebut.
- Oknum Warga dan Tokoh Masyarakat: Diduga terlibat dalam aksi mafia tanah dan pembuatan surat BPN palsu.
Comments
Post a Comment