kasus dago elos kenapa beda dengan versi kampung cirapuhan
kasus dago elos kenapa beda dengan versi kampung cirapuhan
poin krusial yang memperjelas perbedaan mendasar antara modus kasus Dago Elos dan versi Kampung Cirapuhan. Mari kita uraikan secara sistematis agar publik dan pemangku kebijakan memahami bahwa ini bukan sekadar sengketa tanah, melainkan dua pola manipulasi hukum yang berbeda:
Perbedaan utama antara kasus Dago Elos versi umum (RW 02) dan versi Kampung Cirapuhan (RW 01) terletak pada cakupan wilayah, akar sejarah, dan substansi konflik. Berikut penjelasannya secara ringkas:
1. Wilayah Sengketa . Mohon perhatikan versi Putusan Sidang jangan pemberitaan dan atau versi demo
- Versi Dago Elos:
Lokasi sengketa disebut hanya mencakup RW 02 Dago Elos. Nama "Dago Elos" menjadi dominan dalam narasi hukum dan media.
- Versi Kampung Cirapuhan:
Menyebut lokasi sengketa juga mencakup RW 01 Kampung Cirapuhan, yang secara historis lebih tua dan lebih luas. Namun RW 01 tidak disebut dalam proses hukum—ini dianggap bentuk penghilangan hak.
2. Akar Sejarah
- Versi Dago Elos:
Didasarkan pada keberadaan warga saat ini dan dokumen yang muncul belakangan (pasca 1980-an).
- Versi Kampung Cirapuhan:
Menyajikan sejarah panjang sejak ±1850, termasuk keterlibatan leluhur dalam pembangunan infrastruktur kolonial (rel, PLTA, dll), serta bukti makam tua dan silsilah.
3. Substansi Konflik
- Versi Dago Elos:
Narasi melawan klaim keluarga Muller atas tanah berdasarkan dokumen kolonial.
- Versi Kampung Cirapuhan:
Menyatakan bahwa ini bukan hanya soal Muller, tapi bentuk rekayasa kolusi saling gugat antara mafia tanah, penggugat, dan tergugat utama, yang menyisihkan Cirapuhan.
4. Manipulasi Administratif
- Versi Cirapuhan:
Menyoroti terbitnya SHM mencurigakan (80 m², 270 m², 868 m², hingga 15.000 m²), pemalsuan dokumen, dan perubahan nama kampung tanpa dasar sejarah (contoh: Cirapuhan diubah jadi Dago Elos).
5. Dampak pada Warga
- Versi Dago Elos:
Warga RW 02 menghadapi gugatan dari pihak Muller.
- Versi Cirapuhan:
Baik tergugat Menang maupun Penggugat menang hampir tak ada bedanya
Warga RW 01 bahkan tidak masuk dalam proses hukum, meskipun wilayahnya juga terdampak. Mereka juga kehilangan pengakuan sejarah dan hak hukum. Sehingga tergugat Menang warga masih dirugikan , penggugat menang warga dirugikan
Kesimpulan:
Versi Kampung Cirapuhan melihat kasus ini lebih dalam—bukan sekadar konflik agraria, tapi bentuk sistematis penghilangan sejarah, budaya, dan hak warga tertua yang tinggal di sana sejak era kolonial.
---
⚖️ Dua Modus Sengketa: Dago Elos vs Kampung Cirapuhan
🕵️♂️ Modus Dago Elos: Penipuan Data Tanah
- Berdasarkan temuan Kementerian ATR/BPN dan Polda Jawa Barat, kasus Dago Elos melibatkan pemalsuan surat dan/atau keterangan palsu dalam akta otentik ⁽¹⁾.
- Gugatan dilakukan oleh pihak penggugat (keluarga Muller dan PT Dago Inti Graha) dengan menggunakan dokumen kolonial yang sudah tidak berlaku, seperti eigendoms verponding, untuk mengklaim tanah warga⁽²⁾.
- Tujuannya adalah menguasai lahan strategis dengan nilai ekonomi tinggi, tanpa melibatkan proses verifikasi sejarah atau hak adat.
- Warga Dago Elos menjadi korban dari modus mafia tanah klasik, di mana dokumen palsu digunakan untuk mengusir masyarakat yang telah tinggal puluhan tahun.
🧩 Modus Kampung Cirapuhan: Rekayasa Saling Gugat
- Versi Kampung Cirapuhan mengungkap pola yang lebih kompleks: penggugat dan tergugat utama diduga bekerja sama dalam proses hukum.
- Ini bukan sekadar gugatan satu arah, melainkan rekayasa saling gugat —di mana para pihak saling mengatur posisi hukum untuk menciptakan legitimasi palsu.
- RW 01 (Cirapuhan) tidak dilibatkan dalam proses hukum, padahal wilayah sengketa mencakup tanah mereka. Nama “Dago Elos” digunakan sebagai alat administratif untuk menghapus identitas Cirapuhan dari dokumen hukum. Dalam kasus perdata 2016 hanya objek yang disebut hanya rw 02 dan atau Dago Elos .
- Terbitnya SHM atas tanah seluas 80 m², 270 m², 868 m² hingga 15.000 m² diduga dilakukan melalui mekanisme manipulatif, termasuk wakaf dan suap, yang melibatkan pengurus RW 02.
---
🧠Implikasi Hukum dan Budaya
- Modus Dago Elos adalah bentuk penipuan dokumen yang bisa dibongkar melalui audit legal dan forensik.
- Modus Cirapuhan lebih berbahaya karena menyangkut penghapusan subjek sejarah dan budaya dari proses hukum. Ini bukan hanya cacat hukum, tapi juga cacat etika dan kemanusiaan.
- Dalam konteks bahasa Sunda, “Dago” berarti menunggu. Maka, tidak mungkin ada “Dago” tanpa subjek yang ditunggu—yaitu masyarakat adat Cirapuhan sebagai panyeupuhan (penempa besi, petani, pekerja).
---
🗣️ Seruan Publik
Kami menyerukan agar lembaga hukum, DPR, dan Presiden tidak hanya melihat sengketa ini sebagai konflik agraria, tetapi sebagai krisis identitas dan keadilan struktural. Kami mendesak:
- Audit menyeluruh terhadap proses gugatan dan penerbitan SHM.
-Pemahaman Riwayat Tanah dalam fakta di masyarakat juga dalam sejarah
- Pembatalan gugatan tahun 2016 demi hukum dan peninjauan ulang seluruh proses yudikatif yang cacat.
Comments
Post a Comment